Mengkaji Aksara nusantara akan selalu mengarah pada inkulturisasi kebudayaan India. Para peneliti baik pribumi atau dari luar selalu mengajukan pendapat senada bahwa aksara di Nusantara hadir sejalan dengan berkembangnya ajaran Hindu-Budha dari India yang mengakulturasi budaya setempat termasuk aksara.(de Casparis:1975).
Namun sejauh fakta yang ada, pendapat itu tidak disertai penjelasan tuntas hingga pada suatu waktu seorang ahli epigrafi yang berkebangsaan Perancis bernama Louis Charles Damais (l951--55) yang menyatakan bahwa hipotesis para ahli tersebut belum benar-benar menegaskan dari mana dan bagaimana awal kehadiran serta mengalirnya arus kebudayaan India ke Nusantara kecuali diperkirakan tidak hanya berasal dari satu tempat saja, tetapi juga dari berbagai tempat lainnya. Walaupun tidak dipungkiri bahwa aksara-aksara di Nusantara memang menampakkan aliran India Selatan atau aliran India Utara, namun juga cukup rumit dan sulit ditentukan darimana kepastian awalnya sebab meskipun ada pengaruh India, tetapi kebudayaan India tidaklah berperan sepenuhnya terhadap lahirnya aksara di Nusantara khususnya suku bangsa yang menghasilkan sumber tertulis dengan mempergunakan aksara-aksara nasional atau aksara daerah yang tergolong kuno itu. Datangnya pengaruh dari India tidak berarti bahwa di kala itu bangsa Nusantara belum mengenal aksara sebagai alat interaksi sosial dengan bangsa-bangsa lain. terbukti bahwa Nusantara sebagai tujuan utama ekspedisi bahan pangan dunia. namun sejarah yang tercatat menyatakan bahwa aksara tertua di Nusantara (Asia Tenggara umumnya) disebarluaskan seiring dengan menyebarnya agama Buddha. Jenis aksara yang semula dipergunakan untuk menulis ajaran. mantra-mantra suci atau teks-teks dengan jenis aksara yang dipakainya disebut Sidhhamartika, disingkat Siddham. Tetapi sarjana Belanda lebih menyukai istilah Pre-Nagari (Damais 1995; Sedyawati 1978) yang pada proses perkembangannya menjadi Aksara Devanagari untuk bahasa Sanskreta. Tulisan-tulisan ini hanya terbatas pada media Stupika yaitu tanah liat yang dibakar, media ini banyak ditemukan di asia tenggara termasuk di Bali, Jawa, dan Sumatra menggunakan bahasa Sanskreta. hasil uji karbon media tersebut menunjukan rentang waktu antara Abad pertama sampai ketiga Masehi. Aksara yang kemudian lebih populer di Nusantara adalah aksara dari dinasti Pallava (India Selatan) selanjutnya disebut aksara Pallawa, juga memiliki kecenderungan tidak menyertakan unsur pertanggalan, dijumpai pada prasasti tujuh Yupa (tugu peringatan kurban) kerajaan Kutai (Kalimantan timur) yang diperkirakan dari tahun 400 Masehi dan sejumlah prasasti dari kerajaan Tarumanagara (Jawa Barat) tahun 450 Masehi. Sedangkan ragam hias yang aseli karya pribumi dapat ditemukan di daerah sulawesi seperti suku Toraja dan di Sumatra utara pada suku Batak yang keduanya merupakan keturunan terdekat dari Ras Proto Melayu/Melayu Kuno. Beberapa pendapat menyatakan bahwa kemungkinan aksara-aksara yang hadir di Nusantara merupakan perkembangan dari aksara Pallawa namun ciri dan pertaliannya masih belum benar-benar dijelaskan, sebab difrensiasi ciri atas aksara-aksara lokal dan kaitannya kepada Pallawa terlampau jauh. Batas antara gaya aksara yang satu (lebih tua) dengan yang hadir kemudian sulit ditentukan, kemungkinan keduanya berkembang secara hampir bersamaan. Atau gaya yang telah ada kemungkinan tersilih oleh kehadiran gaya dan jenis aksara yang baru, peralihan dan pergantian sesuai perkembangan zaman seperti yang terjadi dengan munculnya aksara Pegon dan Latin. Yang baru telah berkembang lebih meluas sedangkan yang lama berkembang secara lokal saja.
Sejumlah besar data tekstual (prasasti) dari masa lampau sebagian besar ditemukan pada batu atau lempeng emas, perunggu maupun tembaga dan selalu dikeluarkan oleh penguasa (raja). Oleh karena itu setiap prasasti adalah dokumen resmi pemerintah negara atau kerajaan dan benar-benar disahkan oleh raja. Adapun salinan atau tembusan (tinulad/tiruan otentik) prasasti yang digoreskan pada lempeng tembaga disebut tamra prasasti (Kartakusuma 2003; 2006). Pada masa lampau, kegiatan menggoreskan atau memahat aksara (naskah karyasastra atau prasasti) dipegang oleh ahli pemahat aksara yang disebut citraleka. Maka itu hasil yang digoreskan atau uang pahatan aksara yang berkembang pada masa klasik bentuknya lebih dapat digolongkan sebagai karya seni kebudayaan menampilkan kekhasan atau keunikan jejak bekas tersendiri. Tentu saja setiap aksara tidak pula ter-lepas dari gaya dan tekanan pahatan yang nampak pada bagian-bagian teks aksara dicirikan oleh tebal, tipis, dengan posisi tubuh aksara tegak, agak tegak, dan miring, ataupun bentuk yang persegi, bulat, pipih memanjang, melebar, tambun, dan kokoh tegak. |
Sumber sepenuhnya dari Wikipedia dengan penambahan gambar dari berbagai sumber
|
Aksara Bangsa Nusantara
Labels:
Sejarah Nusantara
Labels
klik tombol refresh dibawah kolom chatting
bila pesan tidak muncul secara otomatis